Krisis
Keuangan Global
Pada zaman sekarang ini krisis
keuangan ini sedang marak-maraknya,maka itu kita harus waspada karena sudah
menyebar ke seluruh negara, Sehingga saya ingin memberitahu apa sebab-sebab dan
dampaknya krisis keuangan global ini khususnya pada negara kita Indonesia.
Sebab-sebab dan
Dampaknya terhadap Indonesia
Bahwa
terjadi krisis maha dahsyat di Amerika Serikat yang menyebar ke semua negara di
dunia sudah sangat banyak kita baca. Namun tidak banyak yang menjelaskan
tentang sebab-sebabnya, dan juga tidak banyak yang menguraikan tentang landasan
dari sebab-sebab itu, yaitu mashab pikiran atau ideologi yang memungkinkan
dipraktekannya cara-cara penggelembungan di sektor keuangan.
Tentang
yang pertama, media massa di negara-negara maju banyak yang mengulasnya.
Intinya sebagai berikut.
Bank
hipotik yang mengkhususkan diri memberikan kredit untuk pembelian rumah, dengan
sendirinya mempunyai tagihan kepada penerima kredit yang menggunakan uangnya
untuk membeli rumah. Jaminan atas kelancaran pembayaran cicilan utang pokok dan
bunganya adalah rumah yang dibiayai oleh bank hipotik tersebut. Kita sebut
tagihan ini tagihan primer, karena langsung dijamin oleh rumah, atau barang
nyata. Tagihannya bank hipotik kepada para penerima kredit berbentuk kontrak
kredit yang berwujud kertas. Istilahnya adalah pengertasan dari barang nyata
berbentuk rumah. Karena kertas yang diciptakannya ini mutlak mewakili
kepemilikan rumah sebelum hutang oleh pengutang lunas, maka kertas ini disebut
surat berharga atau security. Pekerjaan mengertaskan barang nyata yang
berbentuk rumah disebut securitization
of asset.
Katakanlah
bank hipotik ini bernama Bear Sterns. Bear Sterns mengkonversi uang tunainya ke
dalam kewajiban cicilan utang pokok beserta pembayaran bunga oleh para
penghutang atau debitur. Jadi uang tunai atau likuiditasnya berkurang. Namun
Bear Sterns memegang surat berharga atau security yang berbentuk kontrak kredit atau
tagihan kepada para debiturnya. Bear Sterns mengelompokkan surat-surat tagihan
tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya mengandung surat
tagih dengan tanggal jatuh tempo pembayaran yang sama. Setiap kelompok ini
dijadikan landasan untuk menerbitkan surat utang yang dijual kepada Lehman
Brothers (misalnya) dan bank-bank lain yang semuanya mempunyai nama besar. Yang
sekarang dilakukan oleh Bear Sterns bukan menerbitkan surat piutang, tetapi
surat janji bayar atau surat utang. Atas dasar surat piutang kepada ratusan
atau ribuan debiturnya, Bear Sterns menerbitkan surat utang kepada Lehman. Uang
tunai hasil hutangnya dari Lehman dipakai untuk memberi kredit lagi kepada
mereka yang membutuhkan rumah. Seringkali untuk membeli rumah kedua, ketiga
oleh orang yang sama, sehingga potensi kreditnya macet bertambah besar.
Penerbitan
surat berharga berbentuk surat janji bayar atau promes disebut securitization of security.
Bahasa Indonesianya yang sederhana “mengertaskan kertas.” Surat berharga ini
kita namakan surat berharga sekunder, karena tidak langsung dijamin oleh barang
yang berbentuk rumah, melainkan oleh kertas yang berwujud surat janji bayar
oleh bank hipotik yang punya nama besar.
Lehman
memegang surat utang dari Bear Sterns dan juga dari banyak lagi
perusahaan-perusahaan sejenis Bear Sterns. Seluruh surat ini dikelompokkkan
lagi ke dalam wilayah-wilayah geografis, misalnya kelompok debitur California,
kelompok debitur Atlanta dan seterusnya. Oleh Lehman kelompok-kelompok
surat-surat utang dari bank-bank ternama ini dijadikan landasan untuk
menerbitkan surat utang yang dibeli oleh Merril Lynch dan bank-bank lainnya
dengan nama besar juga. Kita namakan surat utang ini surat utang tertsier.
Demikianlah
seterusnya, satu rumah sebagai jaminan menghasilkan uang tunai ke dalam kas dan
bank-bank ternama dengan jumlah keseluruhan yang berlipat ganda. Media massa
negara-negara maju menyebutkan bahwa bank-bank tersebut melakukan sliced and diced, yang secara
harafiah berarti bahwa satu barang dipotong-potong dan kemudian masing-masing
diperjudikan. Maka banyak bank yang debt
to equity ratio-nya 35 kali.
Sekarang
kita bayangkan adanya pembeli rumah yang gagal bayar cicilan utang pokok
beserta bunganya. Kalau satu tagihan dipotong-potong (sliced) menjadi 5, yang
masing-masing dibeli oleh bank-bank yang berlainan, maka gagal bayar oleh satu
debitur merugikan 5 bank. Ini sebagai contoh. Dalam kenyataannya bisa lebih
dari 5 bank yang terkena kerugian besar, karena kepercayaan bank-bank besar di
seluruh dunia kepada nama-nama besar investment
banks dan hedge
funds di AS.
Dampak
pertama adalah bahwa bank tidak percaya pada bank lain yang minta kredit
kepadanya melalui pembelian surat berharganya. Ini berarti bahwa bank-bank yang
tadinya memperoleh likuiditas dari sesama bank menjadi kekeringan likuiditas,
sedangkan bank-bank yang termasuk kategori investment bank atau hedge fund tidak mendapatkan uangnya dari
penabung individual, tetapi dari bank-bank komersial atau sesama investment
bank atau sesama hedge funds.
Jadi dampak pertama adalah kekeringan likuiditas.
Dampak
kedua adalah bahwa bank yang menagih piutangnya yang sudah jatuh tempo tidak
memperoleh haknya, karena bank yang diutanginya tidak mampu membayarnya tepat
waktu, karena pengutang utamanya, yaitu individu yang membeli rumah-rumah di
atas batas kemampuannya memang tidak mampu memenuhi kewajibannya. Lembaga-lembaga
keuangan di Amerika Serikat dengan sadar memberikan kredit rumah kepada orang
yang tidak mampu. Itulah sebabnya namanya subprime mortgage. Sub artinya di bawah. Prime artinya prima atau
bonafid. Jadi dengan sadar memang memberikan kredit rumah kepada orang-orang
yang tidak bonafid atau tidak layak memperoleh kredit. Bahwa kepada mereka toh
diberikan, bahkan berlebihan, karena adanya praktek yang disebut sliced and diced tadi. Dampak
kedua ini, yaitu bank-bank gagal bayar kepada sesama bank mengakibatkan
terjadinya rush oleh bank-bank pemberi kredit, antara lain kepada Lehman
Brothers. Maka Lehman musnah dalam waktu 24 jam.
Ketika
surat utang inferior
yang disebut subprime mortgage
macet, barulah ketahuan bahwa begini caranya memompakan angin ke dalam satu
surat utang yang dijual berkali-kali dengan laba sangat besar.
Ketika
balon angin keuangan meledak, Henry Paulson sudah menjabat menteri keuangan AS.
Dia melakukan tindakan-tindakan yang buat banyak orang membingungkan, tetapi
buat beberapa orang, dia manusia yang hebat, tegas, dan menurutnya sendiri
bersenjatakan bazooka. (Newsweek tanggal 29 September 2008 halaman 20). Ada
alasan untuk menganggapnya orang hebat. Dia mahasiswa Phi Beta Kappa dari
Dartmouth. Penghubung antara gedung putihnya Nixon dan Departemen Perdagangan.
MBA dari Harvard, bergabung dengan Goldman Sachs Chicago di tahun 1974, menjadi
CEO-nya dari 1998 sampai 2006. Dan sekarang menteri keuangan AS.
Maka
dialah yang ketiban beban berat menghadapi krisis yang maha dahsyat yang sedang
berlangsung. Tindakan-tindakannya seperti semaunya sendiri atau bingung. Dia
memfasilitasi JP Morgan untuk membeli Bear Sterns dengan harga hanya US$ 2 per
saham, yang dalam waktu singkat direvisi menjadi US$ 10. Fannie Mae dan Freddie
Mac, perusahaan quasi milik pemerintah telah memberikan jaminan kredit sebesar
US$ 5,4 trilyun. Untuk menyelamatkannya dua perusahaan penjaminan kredit
tersebut dibeli oleh pemerintah dengan jumlah uang US$ 80 milyar. Lehman
Brothers disuruh bangkrut saja. Merril Lynch dijual kepada Bank of America.
Akhirnya dia menyodorkan usulan supaya pemerintah AS menyediakan uang US$ 700
milyar untuk menanggulangi krisis. Kongres marah, karena alasan ideologi.
Bagaimana mungkin bangsa yang kepercayaannya pada keajaiban mekanisme pasar bagaikan
agama mendadak disuruh intervensi dengan uang yang begitu besar? Wall Street
guncang luar biasa. Kongres rapat lagi dan “terpaksa” menyetujui usulan Hank
Paulson dan Bernanke, Presiden Federal Reserve, supaya pemerintah AS
menggunakan uang rakyat pembayar pajaknya sebesar Rp 700 milyar untuk mencoba
menyelesaikan masalah keuangan yang maha dahsyat itu. Saya katakan mencoba,
karena setelah disetujui, Wall Street tetap saja terpuruk.
Maka
masyarakat menjadi panik, kepercayaan kepada siapapun hilang. Dengan adanya
pengumuman bahwa perusahaan-perusahaan besar dengan nama besar dan sejarah yang
panjang ternyata bangkrut, saham-sahamnya yang dipegang oleh masyarakat musnah
nilainya. Masyarakat bertambah panik.
Seperti
telah dikemukakan sangat banyak kertas-kertas derivatif diciptakan oleh
bank-bank dengan nama besar, sehingga tanpa ragu banyak bank-bank besar di
seluruh dunia membelinya sebagai investasi mereka. Kertas-kertas berharga ini
mendadak musnah harganya, sehingga banyak bank yang menghadapi kesulitan sangat
kritis.
Dampaknya
terhadap Indonesia
Secara
rasional dampaknya terhadap Indonesia sangat kecil, karena hubungan ekonomi
Indonesia dengan AS tidak ada artinya. Praktis tidak ada uang Indonesia yang
ditanam ke dalam saham-saham AS yang sekarang nilainya merosot atau musnah.
Hanya milik orang-orang Indonesia kaya dan super kaya yang tertanam dalam
saham-saham perusahaan-perusahaan AS. Uang inipun jauh sebelum krisis sudah
tidak pernah ada di Indonesia.
Dampak
yang riil dan sekarang terasa ialah dijualnya saham-saham di Bursa Efek
Indonesia oleh para investor asing karena mereka membutuhkan uangnya di
negaranya masing-masing. Maka IHSG anjlok. Uang rupiah hasil penjualannya
dibelikan dollar, yang mengakibatkan nilai rupiah semakin turun. Namun sayang bahwa
kenyataan yang kasat mata ini tidak mau diakui oleh pemerintah, sehingga
pemerintah memilih membatasi Bursa Efek dalam ruang geraknya dengan cara
mengekang Bursa Efek demikian rupa, sehingga praktis fungsi Bursa Efek
ditiadakan.
Kebijakan
lain ialah mengumumkan memberikan jaminan keamanan dan keutuhan uang yang
disimpan dalam bank-bank di Indonesia sampai batas Rp 2 milyar. Ini sama saja
mengatakan kepada publik di seluruh dunia supaya jangan menyimpan uangnya di
bank-bank di Indonesia yang melebihi Rp 2 milyar.
Karena
pengaruh teknologi informasi yang demikian canggihnya, semua berita-berita
tentang krisis yang melanda negara-negara maju dapat diikuti. Pengaruh
psikologisnya ialah kehati-hatian dalam membelanjakan uangnya yang berarti
konsumsi akan menyusut dengan segala akibatnya.
Setelah
Bank Indonesia menjadi independen ada kecenderungan terjadinya ego sektoral.
Karena tugas pimpinan BI terfokus pada menjaga stabilitas nilai rupiah dan
menjaga tingkat inflasi, semuanya dipertahankan at any cost. Maka di banyak negara maju yang
menjadi cikal bakal pikiran independennya bank sentral menurunkan tingkat suku
bunga, di Indonesia dinaikkan sangat tinggi yang lebih memperpuruk sektor riil
yang sudah terpuruk karena menurunnya drastis permintaan dari negara-negara
tujuan ekspor.
Hal
yang kurang dipahami adalah faktor-faktor, kekuatan-kekuatan serta mekanisme
yang bekerja setelah meletusnya gelembung angin (bubble) keuangan menyeret perekonomian global ke
dalam spiral yang menurun.
Sejak
lama kita mengenal adanya gejala gelombang pasang surutnya ekonomi atau business cycle atau conjunctuur yang selalu
melekat pada sistem kapitalisme dan mekanisme pasar. Cikal bakal tercapainya
titik balik teratas menuju pada kemerosotan, dan sebaliknya, cikal bakal
tercapainya titik balik terendah menuju pada kegairahan dan peningkatan ekonomi
bisa macam-macam. Tetapi pola kemerosotan dan pola peningkatannya selalu sama.
Seberapa
besar pemerintah mempunyai kemampuan mempengaruhinya tergantung pada struktur
ekonomi dalam aspek perbandingannya antara ketersediaan modal dan ketersediaan
tenaga kerja. Bagian ini dari ekonomi tidak banyak dibicarakan oleh para ahli.
Apakah karena mereka kurang paham, ataukah gejala business cycle sudah mati, sudah kuno dan tidak
berlaku lagi?
Sumber
: